TINJAUAN
PUSTAKA
2.1.DEFINISI.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
Trauma thorax adalah luka atau cedera yang mengenai rongga thorax yang dapat menyebabkan kerusakan pada dinding thorax ataupun isi dari cavum thorax yang disebabkan oleh benda tajam atau bennda tumpul dan dapat menyebabkan keadaan gawat thorax akut.
2.2.ETIOLOGI.
1. Trauma
thorax kebanyakan disebabkan oleh kecelakaan lalu lintas yang
umumnya
berupa trauma tumpul dinding thorax.
2. Dapat juga disebabkan oleh karena
trauma tajam melalui dinding thorax.
2.3.ANATOMI.
Kerangka rongga thorax, meruncing pada bagian atas dan
berbentuk kerucut terdiri dari sternum, 12 vertebra thoracalis, 10 pasang iga
yang berakhir di anterior dalam segmen tulang rawan dan 2 pasang yang melayang.
Kartilago dari 6 iga memisahkan articulasio dari sternum, kartilago ketujuh
sampai sepuluh berfungsi membentuk tepi kostal sebelum menyambung pada tepi
bawah sternu. Perluasan rongga pleura di atas klavicula dan di atas organ dalam
abdomen penting untuk dievaluasi pada luka tusuk. Musculus pectoralis mayor dan
minor merupakan muskulus utama dinding anterior thorax. Muskulus latisimus
dorsi, trapezius, rhomboideus, dan muskulus gelang bahu lainnya membentuk
lapisan muskulus posterior dinding posterior thorax. Tepi bawah muskulus
pectoralis mayor membentuk lipatan/plika aksilaris posterior.
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea danbronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal,
Dada berisi organ vital paru dan jantung, pernafasan berlangsung dengan bantuan gerak dinding dada. Inspirasi terjadi karena kontraksi otot pernafasan yaitu muskulus interkostalis dan diafragma, yang menyebabkan rongga dada membesar sehingga udara akan terhisap melalui trakea danbronkus.
Pleura adalah membran aktif yang disertai dengan pembuluh darah dan limfatik. Disana terdapat pergerakan cairan, fagositosis debris, menambal kebocoran udara dan kapiler. Pleura visceralis menutupi paru dan sifatnya sensitif, pleura ini berlanjut sampai ke hilus dan mediastinum bersama – sama dengan pleura parietalis, yang melapisi dinding dalam thorax dan diafragma. Pleura sedikit melebihi tepi paru pada setiap arah dan sepenuhnya terisi dengan ekspansi paru – paru normal,
Diafragma bagian muskular perifer berasal dari bagian bawah
iga keenam kartilago kosta, dari vertebra lumbalis, dan dari lengkung
lumbokostal, bagian muskuler melengkung membentuk tendo sentral. Nervus
frenikus mempersarafi motorik dari interkostal bawah mempersarafi sensorik.
Diafragma yang naik setinggi putting susu, turut berperan dalam ventilasi paru
– paru selama respirasi biasa / tenang sekitar 75%.
2.4. PATOFISIOLOGI.
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
Hipoksia, hiperkarbia, dan asidosis sering disebabkan oleh trauma thorax. Hipokasia jaringan merupakan akibat dari tidak adekuatnya pengangkutan oksigen ke jaringan oleh karena hipivolemia ( kehilangan darah ), pulmonary ventilation/perfusion mismatch ( contoh kontusio, hematoma, kolaps alveolus )dan perubahan dalam tekanan intratthorax ( contoh : tension pneumothorax, pneumothorax terbuka ). Hiperkarbia lebih sering disebabkan oleh tidak adekuatnya ventilasi akibat perubahan tekanan intrathorax atau penurunan tingkat kesadaran. Asidosis metabolik disebabkan oleh hipoperfusi dari jaringan ( syok ).
2.5.
INITIAL ASSESSMENT DAN PENGELOLAAN.
1. Pengelolaan penderita
terdiri dari :
a. Primary survey. Yaitu dilakukan pada
trauma yang mengancam jiwa, pertolongan ini dimulai dengan airway, breathing,
dan circulation.
b. Resusitasi fungsi vital.
c. Secondary survey yang terinci.
d. Perawatan definitif.
2. Karena hipoksia adalah masalah yang sangat serius
pada Trauma thorax, intervensi dini
perlu dilakukan untuk pencegahan dan mengoreksinya.
3. Trauma yang bersifat mengancam
nyawa secara langsung dilakukan terapi
secepat dan sesederhana mungkin.
4. Kebanyakan kasus Trauma
thorax yang mengancam nyawa diterapi dengan mengontrol airway atau melakukan
pemasangan selang thorax atau dekompresi thorax dengan jarum.
5. Secondary survey
membutuhkan riwayat trauma dan kewaspadaan yang tinggi terhadap adanya trauma – trauma yang
bersifat khusus.
2.6. KELAINAN AKIBAT TRAUMA THORAX .
A. Trauma dinding thorax dan paru.
A. Trauma dinding thorax dan paru.
1) Fraktur
iga. Merupakan komponen dari dinding thorax yang paling sering mngalami trauma,
perlukaan pada iga sering bermakna, Nyeri pada pergerakan akibat terbidainya
iga terhadap dinding thorax secara keseluruhan menyebabkan gangguan ventilasi.
Batuk yang tidak efektif intuk mengeluarkan sekret dapat mengakibatkan insiden
atelaktasis dan pneumonia meningkat secara bermakna dan disertai timbulnya
penyakit paru – paru. Fraktur sternum dan skapula secara umum disebabkan oleh
benturan langsung, trauma tumpul jantung harus selalu dipertimbangkan bila ada
asa fraktur sternum. Yang paling sering mengalami trauma adalah iga begian
tengah ( iga ke – 4 sampai ke – 9 )
2) Flail
Chest. terjadi ketika segmen dinding dada tidak lagi mempunyai kontinuitas
dengan keseluruhan dinding dada. Keadaan tersebut terjadi karena fraktur iga
multipel pada dua atau lebih tulang iga dengan dua atau lebih garis fraktur.
Adanya semen flail chest (segmen mengambang) menyebabkan gangguan pada
pergerakan dinding dada. Jika kerusakan parenkim paru di bawahnya terjadi
sesuai dengan kerusakan pada tulang maka akan menyebabkan hipoksia yang serius.
Kesulitan utama
pada kelainan Flail Chest yaitu trauma pada parenkim paru yang mungkin terjadi
(kontusio paru). Walaupun ketidak-stabilan dinding dada menimbulkan gerakan
paradoksal dari dinding dada pada inspirasi dan ekspirasi, defek ini sendiri
saja tidak akan menyebabkan hipoksia. Penyebab timbulnya hipoksia pada
penderita ini terutama disebabkan nyeri yang mengakibatkan gerakan dinding dada
yang tertahan dan trauma jaringan parunya. Flail Chest mungkin tidak terlihat pada awalnya, karena
splinting (terbelat) dengan dinding dada. Gerakan pernafasan menjadi buruk dan
toraks bergerak secara asimetris dan tidak terkoordinasi. Palpasi gerakan
pernafasan yang abnormal dan krepitasi iga atau fraktur tulang rawan membantu
diagnosisi. Dengan foto toraks akan lebih jelas karena akan terlihat fraktur
iga yang multipel, akan tetapi terpisahnya sendi costochondral tidak akan
terlihat. Pemeriksaan analisis gas darah yaitu adanya hipoksia akibat kegagalan
pernafasan, juga membantu dalam diagnosis Flail Chest. Terapi awal yang
diberikan termasuk pemberian ventilasi adekuat, oksigen yang dilembabkan dan
resusitasi cairan. Bila tidak ditemukan syok maka pemberian cairan kristoloid
intravena harus lebih berhati-hati untuk mencegah kelebihan pemberian cairan. Bila ada
kerusakan parenkim paru pada Flail Chest, maka akan sangat sensitif terhadap
kekurangan ataupun kelebihan resusitasi cairan. Pengukuran yang lebih spesifik harus dilakukan agar
pemberian cairan benar-benar optimal. Terapi definitif ditujukan untuk
mengembangkan paru-paru dan berupa oksigenasi yang cukup serta pemberian cairan
dan analgesia untuk memperbaiki ventilasi. Tidak semua penderita membutuhkan
penggunaan ventilator. Pencegahan hipoksia merupakan hal penting pada penderita
trauma, dan intubasi serta ventilasi perlu diberikan untuk waktu singkat sampai
diagnosis dan pola trauma yang terjadi pada penderita tersebut ditemukan secara
lengkap. Penilaian hati-hati dari frekuensi pernafasan, tekanan
oksigen arterial dan penilaian kinerja pernafasan akan memberikan suatu
indikasi timing / waktu untuk melakukan intubasi dan ventilasi.
3) Kontusio paru adalah kelainan yang
paling sering ditemukan pada golongan potentially lethal chest injury.
Kegagalan bernafas dapat timbul perlahan dan berkembang sesuai waktu, tidak
langsung terjadi setelah kejadian, sehingga rencana penanganan definitif dapat
berubah berdasarkan perubahan waktu. Monitoring harus ketat dan berhati-hati,
juga diperlukan evaluasi penderita yang berulang-ulang. Penderita dengan
hipoksia bermakna (PaO2 < 65 mmHg atau 8,6 kPa dalam udara ruangan, SaO2
< 90 %) harus dilakukan intubasi dan diberikan bantuan ventilasi pada
jam-jam pertama setelah trauma. Kondisi medik yang berhubungan dengan kontusio
paru seperti penyakit paru kronis dan gagal ginjal menambah indikasi untuk
melakukan intubasi lebih awal dan ventilasi mekanik. Beberapa penderita dengan
kondisi stabil dapat ditangani secara selektif tanpa intubasi endotrakeal atau
ventilasi mekanik. Monitoring dengan pulse oximeter, pemeriksaan analisis gas
darah, monitoring EKG dan perlengkapan alat bantu pernafasan diperlukan untuk
penanganan yang optimal. Jika kondisi penderita memburuk dan
perlu ditransfer maka harus dilakukan intubasi dan ventilasi terlebih dahulu.
4) Pneumotoraks
dikibatkan masuknya udara pada ruang potensial antara pleura viseral dan
parietal. Dislokasi fraktur vertebra torakal juga dapat ditemukan bersama
dengan pneumotoraks. Laserasi paru merupakan penyebab tersering dari
pnerumotoraks akibat trauma tumpul.Dalam keadaan normal rongga toraks dipenuhi
oleh paru-paru yang pengembangannya sampai dinding dada oleh karena adanya tegangan
permukaan antara kedua permukaan pleura. Adanya udara di dalam rongga pleura
akan menyebabkan kolapsnya jaringan paru. Gangguan ventilasi-perfusi terjadi
karena darah menuju paru yang kolaps tidak mengalami ventilasi sehingga tidak
ada oksigenasi. Ketika pneumotoraks terjadi, suara nafas menurun pada sisi yang
terkena dan pada perkusi hipesonor. Foto toraks pada saat ekspirasi membantu
menegakkan diagnosis. Terapi terbaik pada pneumotoraks adalah dengan pemasangan
chest tube lpada sela iga ke 4 atau ke 5, anterior dari garis mid-aksilaris.
Bila pneumotoraks hanya dilakukan observasi atau aspirasi saja, maka akan
mengandung resiko. Sebuah selang dada dipasang dan dihubungkan dengan WSD
dengan atau tanpa penghisap, dan foto toraks dilakukan untuk mengkonfirmasi
pengembangan kembali paru-paru. Anestesi umum atau ventilasi dengan tekanan
positif tidak boleh diberikan pada penderita dengan pneumotoraks traumatik atau
pada penderita yang mempunyai resiko terjadinya pneumotoraks intraoperatif yang
tidak terduga sebelumnya, sampai dipasang chest tube. Pneumotoraks sederhana
dapat menjadi life thereatening tension pneumothorax, terutama jika awalnya
tidak diketahui dan ventilasi dengan tekanan posiif diberikan. Toraks penderita
harus dikompresi sebelum penderita ditransportasi/rujuk.
5) Pneumothorax terbuka ( Sucking chest wound )
Defek atau luka yang besar plada dinding dada yang terbuka menyebabkan
pneumotoraks terbuka. Tekanan di dalam rongga pleura akan segera menjadi sama
dengan tekanan atmosfir. Jika defek pada dinding dada mendekati 2/3 dari
diameter trakea maka udara akan cenderung mengalir melalui defek karena
mempunyai tahanan yang kurang atau lebih kecil dibandingkan dengan trakea.
Akibatnya ventilasi terganggu sehingga menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia.
Langkah awal adalah menutup luka dengan kasa stril yang diplester hanya pada 3
sisinya saja. Dengan penutupan seperti ini diharapkan akan terjadi efek flutter
Type Valve dimana saat inspirasi kasa pnutup akan menutup luka, mencegah
kebocoran udara dari dalam. Saat ekspirasi kasa penutup terbuka untuk
menyingkirkan udara keluar. Setelah itu maka sesegera mungkin dipasang selang
dada yang harus berjauhan dari luka primer. Menutup seluruh sisi luka akan
menyebabkan terkumpulnya udara di dalam rongga pleura yang akan menyebabkan
tension pneumothorax kecuali jika selang dada sudah terpasang. Kasa penutup
sementara yang dapat dipergunakan adalah Plastic Wrap atau Petrolotum Gauze,
sehingga penderita dapat dilakukan evaluasi dengan cepat dan dilanjutkan dengan
penjahitan luka.
6) Tension pneumorothorax berkembang ketika terjadi
one-way-valve (fenomena ventil), kebocoran udara yang berasal dari paru-paru
atau melalui dinding dada masuk ke dalam rongga pleura dan tidak dapat keluar
lagi (one-way-valve). Akibat udara yang masuk ke dalam rongga pleura yang tidak
dapat keluar lagi, maka tekanan di intrapleural akan meninggi, paru-paru
menjadi kolaps, mediastinum terdorong ke sisi berlawanan dan menghambat
pengembalian darah vena ke jantung (venous return), serta akan menekan paru
kontralateral. Penyebab tersering dari tension pneumothorax adalah komplikasi
penggunaan ventilasi mekanik (ventilator) dengan ventilasi tekanan positif pada
penderita dengan kerusakan pada pleura viseral. Tension pneumothorax dapat
timbul sebagai komplikasi dari penumotoraks sederhana akibat trauma toraks
tembus atau tajam dengan perlukaan parenkim paru tanpa robekan atau setelah
salah arah pada pemasangan kateter subklavia atau vnea jugularis interna.
Kadangkala defek atau perlukaan pada dinding dada juga dapat menyebabkan
tension pneumothorax, jika salah cara menutup defek atau luka tersebut dengan
pembalut (occhusive dressings) yang kemudian akan menimbulkan mekanisme
flap-valve. Tension
pneumothorax jug adapat terjadi pada fraktur tulang belakang toraks yang
mengalami pergeseran (displaced thoracic spine fractures). Diagnosis tension
pneumotorax ditegakkan berdasarkan gejala klinis, dan tetapi tidak boleh
terlambat oleh karena menunggu konfirmasi radkologi. Tension pneumothorax
ditandai dengan gejala nyeri dada, sesak, distres pernafasan, takikardi,
hipotensi, deviasi trakes, hilangnya suara nafas pada satu sisi dan distensi
vena leher. Sianosisi merupakan manifestasi lanjut. Karena ada kesamaan gejala
antara tension pneumothorax dan tamponade jantung maka sering membingungkan
pada awalnya tetapi perkusi yang hipersonor dan hilangnya suara nafas pada
hemitoraks yang terkena pada tension pneumothorax dapat membedakan keduanya.
Tension pneumothorax membutuhkan dekompresi segera dan penanggulangan awal
dengan cepat berupa insersi jarum yang berukuran besar pada sela iga dua garis
midclavicular pada hemitoraks yang mengalami kelainan. Tindakan ini akan
mengubah tension pneumothorax menjadi plneumothoraks sederhana (catatan :
kemungkinan terjadi pneumotoraks yang bertambah akibat tertusuk jarum).
Evaluasi ulang selalu diperlukan. Tetapi definitif selalu dibutuhkan dengan
pemsangan selang dada (chest tube) pada sela iga ke 5 (garis putting susu)
diantara garis anterior dan midaxilaris.
7) Hemothorax.
Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi paru atau laserasi dari pembuluh
darah interkostal atau arteri mamaria internal yang disebabkan oleh trauma
tajam atau trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat
menyebabkan terjadinya hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan
tidak memerlukan intervensi operasi. Hemotoraks akut yang cukup banyak sehingga
terlihat pada foto toraks, sebaiknya diterapi dengan selang dada kaliber besar.
Selang dada tersebut akan mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi
resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura, dan dapat dipakai
dalam memonitor kehilangan darah selanjutnya. Evakuasi darah atau cairan juga
memungkinkan dilakukannya penilaian terhadap kemungkinan terjadinya ruptur
diafragma traumatik. Walaupun banyak faktor yang berperan dalam memutuskan
perlunya indikasi operasi pada penderita hemotoraks, status fisiologi dan
volume darah yang kelura dari selang dada merupakan faktor utama. Sebagai
patokan bila darah yang dikeluarkan secara cepat dari selang dada sebanyak
1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap jamuntuk 2 sampai
4 jam, atau jika membutuhkan transfusi darah terus menerus, eksplorasi bedah
herus dipertimbangkan.
8) Hemotoraks
masif yaitu terkumpulnya darah dengan cepat lebih dari 1.500 cc di dalam rongga
pleura. Hal ini sering disebabkan oleh luka tembus yang merusak pembuluh darah
sistemik atau pembuluh darah pada hilus paru. Hal ini juga dapat disebabkan
trauma tumpul. Kehilangan darah menyebabkan hipoksia. Vena leher dapat kolaps
(flat) akibat adanya hipovolemia berat, tetapi kadang dapat ditemukan distensi
vena leher, jika disertai tension pneumothorax. Jarang terjadi efek mekanik
dari adarah yang terkumpul di intratoraks lalu mendorong mesdiastinum sehingga
menyebabkan distensi dari pembuluh vena leher. Diagnosis hemotoraks ditegakkan
dengan adanya syok yang disertai suara nafas menghilang dan perkusi pekak pada
sisi dada yang mengalami trauma. Terapi awal hemotoraks masif adalah dengan
penggantian volume darah yang dilakukan bersamaan dengan dekompresi rongga
pleura. Dimulai dengan infus cairan kristaloid secara cepat dengan jarum besar
dan kemudian pmeberian darah dengan golongan spesifik secepatnya. Darah dari
rongga pleura dapat dikumpulkan dalam penampungan yang cocok untuk
autotransfusi. Bersamaan dengan pemberian infus, sebuah selang dada (chest
tube) no. 38 French dipasang setinggi puting susu, anteriordari garis
midaksilaris lalu dekompresi rongga pleura selengkapnya. Ketika kita mencurigai
hemotoraks masif pertimbangkan untuk melakukan autotransfusi. Jika pada awalnya
sudah keluar 1.500 ml, kemungkinan besar penderita tersebut membutuhkan
torakotomi segera. Beberapa penderita yang pada awalnya darah yang keluar
kurang dari 1.500 ml, tetapi pendarahan tetap berlangsung. Ini juga
mamebutuhkan torakotomi. Keputusan torakotomi diambil bila didapatkan
kehilangan darah terus menerus sebanyak 200 cc/jam dalam waktu 2 sampai 4 jam,
tetapi status fisiologi penderita tetap lebih diutamakan. Transfusi darah
diperlukan selama ada indikasi untuk toraktomi. Selama penderita dilakukan
resusitasi, volume darah awal yang dikeluarkan dengan selang dada (chest tube)
dan kehilangan darah selanjutnya harus ditambahkan ke dalam cairan pengganti
yang akan diberikan. Warna darah (arteri atau vena) bukan merupakan indikator
yang baik untuk dipakai sebagai dasar dilakukannya torakotomi. Luka tembus
toraks di daerah anterior medial dari garis puting susu dan luka di daerah
posterior, medial dari skapula harus disadari oleh dokter bahwa kemungkinan
dibutuhkan torakotomi, oleh karena kemungkinan melukai pembuluh darah besar,
struktur hilus dan jantung yang potensial menjadi tamponade jantung. Torakotomi
harus dilakukan oleh ahli bedah, atau dokter yang sudah berpengalaman dan sudah
mendapat latihan.
9) Cedera trakea dan Bronkus. Cedera ini jarang tetapi
mungkin disebabkan oleh trauma tumpul atau trauma tembus, manifestasi klinisnya
yaitu yang biasanya timbul dramatis, dengan hemoptisis bermakna, hemopneumothorax,
krepitasi subkutan dan gawat nafas. Empisema mediastinal dan servical dalam
atau pneumothorax dengan kebocoran udara masif. Penatalaksanaan yaitu dengan
pemasangan pipa endotrakea ( melalui kontrol endoskop ) di luar cedera untuk
kemungkinan ventilasi dan mencegah aspirasi darah, pada torakostomi diperlukan
untuk hemothorax atau pneumothorax.
B. TRAUMA JANTUNG DAN AORTA.
1.
Tamponade
jantung sering disebabkan oleh luka tembus. Walaupun demikian, trauma tumpul
juga dapat menyebabkan perikardium terisi darah baik dari jantung, pembuluh
darah besar maupun dari pembuluh darah perikard. Perikard manusia terdiri dari
struktur jaringan ikat yang kaku dan walaupun relatif sedikit darah yang
terkumpul, namun sudah dapat menghambat aktivitas jantung dan mengganggu
pengisian jantung. Mengeluarkan darah atau cairan perikard, sering hanya 15 ml
sampai 20 ml, melalui perikardiosintesis akan segera memperbaiki hemodinamik.
Diagnosis tamponade jantung tidak mudah. Diagnosistik klasik adalah adanya
Trias Beck yang terdiri dari peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri
dan suara jantung menjauh. Penilaian suara jantung menjauh sulit didapatkan
bila ruang gawat darurat dalam keadaan berisi, distensi vena leher tidak
ditemukan bila keadaan penderita hipovlemia dan hipotensi sering disebabkan
oleh hipovolemia. Pulsus paradoxus adalah keadaan fisiologis dimana terjadi
penurunan dari tekanan darah sistolik selama inspirasi spontan. Bila penurunan
tersebut lebih dari 10 mmHg, maka ini merupakan tanda lain terjadinya tamponade
jantung. Tetapi tanda pulsus paradoxus tidak selalu ditemukan, lagi pula sulit
mendeteksinya dalam ruang gawat darurat. Tambahan lagi, jika terdapat tension
pneumothorax, terutama sisi kiri, maka akan sangat mirip dengan tamponade
jantung. Tanda Kussmaul (peningkatan tekanan vena pada saat inspirasi biasa)
adalah kelainan paradoksal tekanan vena yang sesungguhnya dan menunjukkan
adanya temponade jantung. PEA pada keadaan tidak ada hipovolemia dan tension
pneumothorax harus dicurigai adanya temponade jantung. Pemasangan CVP dapat
membantu diagnosis, tetapi tekanan yang tinggi dapat ditemukan pda berbagai
keadaan lain. Pemerikksaan USG (Echocardiografi) merupakan metode non invasif
yang dapat membantu penilaian perikardium, tetapi banyak penelitian yang
melaporkan angka negatif yang lebih tinggi yaitu sekitar 50 %. Pada penderita
trauma tumpul dengan hemodinamik abnormal boleh dilakukan pemeriksaan USG
abdomen, yang sekaligus dapat mendeteksi cairan di kantung perikard, dengan
syarat tidak menghambat resusitasi (lihat Bab 5, Trauma abdomen, V.F, Studi
diagnostik spesifik pada trauma tumpul). Evakuasi cepat darah dari perikard
merupakan indikasi bila penderita dengan syok hemoragik tidak memberikan respon
pada resusitasi cairan dan mungkin ada tamponade jantung. Tindakan ini
menyelamatkan nyawa dan tidak boleh diperlambat untuk mengadakan pemeriksaan
diagnostik tambahan. Metode sederhana untuk mengeluarkan cairan dari perikard
adaah dengan perikardiosintesis. Kecurigaan yang tinggi adanya tamponade
jantung pada penderita yang tidak memberikan respon terhadap usaha rsusitasi,
merupakan indiksi untuk melakukan tindakan perikardiosintesis melalui metode
subksifoid. Tindakan alternatif lain, adalah melakukan operasi jendela perikad
atau torakotomi dengan perikardiotomi oleh seorang ahli bedah. Prosedur ini
akan lebih baik dilakukan di ruang operasi jika kondisi penderita memungkinkan.
Walaupun kecurigaan besar besar akan adanya tamponade jantung, pemberian cairan
infus awal masih dapat meningkatkan tekanan vena dan meningkatkan cardiac
output untuk sementara, sambil melakukan persiapan untuk tindakan
perikardiosintesis melalui subksifoid. Pada tindakan ini menggunakan
plastic-sheated needle atau insersi dengan teknik Seldinger merupakan cara
paling baik, tetapi dalam keadaan yang lebih gawat, prioritas adalah aspirasi
darah dari kantung perikard. Monitoring Elektrokardiografi dapat menunjukkan
tertusuknya miokard (peningkatan voltase dari gelombang T, ketika jarum
perikardiosintesis menyentuh epikardium) atau terjadinya disritmia.
2.
Kontusio
Miocard . Terjadi karena ada pukulan langsung pada sternum dengan diikuti memar
jantung dikenal sebagai kontusio miocard. Manifestasi klinis cedera jantung
mungkin bervariasi dari ptekie epikardial superfisialis sampai kerusakan
transmural. Disritmia merupakan temuan yang sering timbul. Pemeriksaan Jantung
yaitu dengan Isoenzim CPK merupakan uji diagnosa yang spesifik, EKG mungkin
memperlihatkan perubahan gelombang T – ST yang non spesifik atau disritmia. Adapun penatalaksanaan berupa
suportif
3.
Trauma tumpul
jantung dapat menyebabkan kontusio otot jantung, ruptur atrium atau ventrikel,
ataupun kebocoran katup. Ruptur
ruang jantung ditandai dengan tamponade jantung yang harus diwaspadai saat
primary survey. Kadang tanda dan gejala dari tamponade lambat terjadi bila yang
ruptur adalah atrium. Penderita dengan kontusio miokard akan mengeluh rasa
tidak nyaman pada dada tetapi keluhan tersebut juga bisa disebabkan kontusio
dinding dada atau fraktur sternum dan/atau fraktur iga. Diagnosis pasti hanya
dapat ditegakkan dengan inspeksi dari miokard yang mengalami trauma. Gejala
klinis yang penting pada miokard adalah hipotensi, gangguan hantaran yang jelas
ada EKG atau gerakan dinding jantung yang tidak normal pada pemeriksaan
ekokardiografi dua dimensi. Perubahan EKG dapat bervariasi dan kadang
menunjukkan suatu infark miokard yang jelas. Kontraksi ventrikel perematur yang
multipel, sinus takikardi yang tak bisa diterangkan, fibrilasi atrium, bundle
branch block (biasanya kanan) dan yang paling sering adalah perubahan segmen ST
yang ditemukan pada gambaran EKG. Elevasi dari tekanan vena sentral yang tidak
ada penyebab lain merupakan petunjuk dari disfungsi ventrikel kanan sekunder
akibat kontusio jantung. Juga penting untuk diingat bahwa kecelakaannya sendiri
mungkin dpat disebabkan adanya serangan infak miokard akut. Penderita kontusio
miokard yang terdiagnosis karena adanya kondusksi yang abnormal mempunyai
resiko terjadinya disrtimia akut, dan harus dimonitor 24 jam pertama, karena
setelah interval tersebut resiko disritmia kaan menurun secara bermakna.
Asuhan Keperawatan
A. PENGKAJIAN
Pengkajian adalah langkah awal dan dasar dalam proses
keperawatan secara menyeluruh (Boedihartono, 1994 : 10).Pengkajian pasien dengan
trauma thoraks
(. Doenges, 1999) meliputi :
- Aktivitas / istirahat
Gejala : dipnea dengan aktivitas ataupun istirahat
2.
Sirkulasi
Tanda : Takikardia ; disritmia ; irama jantunng gallops,
nadi apical berpindah,tanda Homman ; TD : hipotensi/hipertensi ; DVJ
3.
Integritas ego
Tanda : ketakutan atau gelisah
4. Makanan dan
cairan
Tanda : adanya pemasangan IV vena sentral/infuse tekanan.
5.
Nyeri/ketidaknyamanan
Gejala : nyeri uni laterl, timbul tiba-tiba selama batuk
atau regangan, tajamdan nyeri, menusuk-nusuk yang diperberat oleh napas dalam,
kemungkinanmenyebar ke leher, bahu dan abdomen.Tanda : berhati-hati pada area
yang sakit, perilaku distraksi, mengkerutkanwajah
6. Pernapasan
Gejala : kesulitan bernapas ; batuk ; riwayat bedah
dada/trauma, penyakit parukronis, inflamasi,/infeksi paaru, penyakit
interstitial menyebar, keganasan ;pneumothoraks spontan sebelumnya, PPOM.Tanda
: Takipnea peningkatan kerja napas ;
bunyi napas turun atau tak ada ;fremitus menurun ; perkusi dada hipersonan ; gerakkkan
dada tidak sama ;kulit pucat, sian osis, berkeringat, krepitasi
subkutan ; mental ansietas,bingung, gelisah, pingsan ;
penggunaan ventilasi mekanik tekanan positif
7 . keamanan
Geajala : adanya trauma dada ; radiasi/kemoterapi untuk
kkeganasan
8Penyuluhan / pembelajaran
Gejala : riwayat factor risiko
keluarga, TBC, kanker ; adanya
bedahintratorakal/biopsy paru
B.
ANALISA DATA
NO
|
TGL
/ JAM
|
DATA
|
PROBLEM
|
ETIOLOGI
|
1
|
Diisi pada saat tanggal pengkajian
|
Berisi
data subjektif dan data objektif yang didapat dari pengkajian keperawatan
|
masalah
yang sedang dialami pasien seperti gangguan pola nafas, gangguan keseimbangan
suhu tubuh, gangguan pola aktiviatas,dll
|
Etiologi
berisi tentang penyakit yang diderita pasien
|
C. DIAGNOSA
KEPERAWATAN
o Ketidakefektifan pola
pernapasan b/d ekpansi paru yang tidak maksimal karena akumulasi udara/cairan.
o
Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi sekret dan penurunan
batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan.
o
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan dan reflek spasme otot
sekunder.
o
Gangguan mobilitas fisik b/d ketidakcukupan kekuatan dan ketahanan untuk
ambulasi dengan alat eksternal.
o Potensial Kolaboratif :
Akteletasis dan Pergeseran Mediatinum.
o Kerusakan integritas kulit
b/d trauma mekanik terpasang bullow drainage
o Resiko terhadap infeksi b/d
tempat masuknya organisme sekunder terhadap trauma.
D. RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN
NO
|
DIAGNOSA
KEPERAWATAN
|
TUJUAN
|
PERENCANAAN
|
Ketidakefektifan pola pernapasan b/d ekspansi paru yang
tidak maksimal karena trauma
|
Pola pernapasan efektive
Dengan Kriteria Hasil :
? Memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektive.
? Mengalami perbaikan pertukaran gas-gas pada paru. ? Adaptive mengatasi faktor-faktor penyebab. |
1.
Berikan posisi yang nyaman, biasanya dnegan peninggian kepala tempat tidur.
Balik ke sisi yang sakit. Dorong klien untuk duduk sebanyak mungkin.
2.
Obsservasi fungsi pernapasan, catat frekuensi pernapasan, dispnea atau
perubahan tanda-tanda vital.
3.
Jelaskan pada klien bahwa tindakan tersebut dilakukan untuk menjamin
keamanan.
4.
Jelaskan pada klien tentang etiologi/faktor pencetus adanya sesak atau kolaps
paru-paru.
5.
Pertahankan perilaku tenang, bantu pasien untuk kontrol diri dnegan
menggunakan pernapasan lebih lambat dan dalam.
6.
Perhatikan alat bullow drainase berfungsi baik, cek setiap 1 - 2 jam
|
|
2
|
Inefektif bersihan jalan napas b/d peningkatan sekresi
sekret dan penurunan batuk sekunder akibat nyeri dan keletihan
|
Jalan napas lancar/normal
Kriteria Hasil :
? Menunjukkan batuk yang efektif.
? Tidak ada lagi penumpukan sekret di sal. pernapasan. ? Klien nyaman. |
7.
Jelaskan klien tentang kegunaan batuk yang efektif dan mengapa terdapat
penumpukan sekret di sal. pernapasan.
8.
Ajarkan klien tentang metode yang tepat pengontrolan batuk.
9.
Auskultasi paru sebelum dan sesudah klien batuk.
10. Ajarkan klien tindakan
untuk menurunkan viskositas sekresi : mempertahankan hidrasi yang adekuat;
meningkatkan masukan cairan 1000 sampai 1500 cc/hari bila tidak
kontraindikasi.
11. Dorong atau berikan
perawatan mulut yang baik setelah batuk.
|
3
|
Perubahan kenyamanan : Nyeri akut b/d trauma jaringan
dan reflek spasme otot sekunder.
|
Nyeri berkurang/hilang.
Kriteria Hasil :
? Nyeri berkurang/ dapat diadaptasi.
? Dapat mengindentifikasi aktivitas yang meningkatkan/menurunkan nyeri. ? Pasien tidak gelisah. |
12. Jelaskan dan bantu klien
dnegan tindakan pereda nyeri nonfarmakologi dan non invasif.
13. Berikan kesempatan waktu
istirahat bila terasa nyeri dan berikan posisi yang nyaman ; misal waktu
tidur, belakangnya dipasang bantal kecil.
14. Tingkatkan pengetahuan
tentang : sebab-sebab nyeri, dan menghubungkan berapa lama nyeri akan
berlangsung.
15.
Kolaborasi denmgan dokter, pemberian analgetik.
16.
Observasi tingkat nyeri, dan respon motorik klien, 30 menit setelah pemberian
obat analgetik untuk mengkaji efektivitasnya. Serta setiap 1 - 2 jam setelah
tindakan perawatan selama 1 - 2 hari.
|
DAFTAR PUSTAKA
Boedihartono, 1994,Proses Keperawatan di Rumah Sakit.EGC
: Jakarta
Brooker, Christine. 2001.Kamus Saku Keperawatan.EGC :
Jakarta
Doenges, Marilyn E. 1999.Rencana Asuhan Keperawatan,
Edisi 3. EGC : Jakarta.
Dorland, W. A. Newman. 2002.Kamus Kedokteran.EGC :
Jakarta.
FKUI. 1995.Kumpulan Kuliah Ilmu bedah.Binarupa Aksara :
Jakarta
Hudak, C.M. 1999.Keperawatan Kritis.Jakarta : EGC.
Mowschenson, Peter M. 1990.Segi Praktis Ilmu Bedah
Untuk pemula. Edisi 2.
Binarupa Aksara : Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar